Kurang lebih selama 1 jam dari total durasi 144 menit, di ruang aula FISIP UNS 2 mei 2013, saya menikmati tayangan film dokumenter pada sebuah screen yang tidak terlalu lebar, terlebih saya duduk di paling belakang. Behind The Frequency.
Rangkaian gambar bergerak yang bercerita, lebih banyak menampilkan potongan-potangan berita dari beberapa stasiun telivisi swasta di Indonesia. Masyarakat sebagai konsumen media yang ada saat ini berusaha disadarkan bahwa saat ini pemberitaan di media (cetak, elektronik, online) tidak lebih dari sebuah alat yang digunakan para pemilik media tersebut untuk kepentingan mereka sendiri
" Ribuan media dengan aneka format baik itu cetak, online, radio, televisi, yang informasinya kita baca, kita simak, kita lihat, kita dengar setiap hari ternyata cuma dikendalikan oleh 12 group media saja."- behind the frequency
Mengambil 2 kisah yang berbeda, Film garapan sutradara Ucu Agustin dan diproduseri bersama oleh Ursula Tumiwa dan Ucu Agustin bercerita mengenai
"Luviana adalah seorang jurnalis, telah bekerja 10 tahun di Metro TV, di-PHK kan karena mempertanyakan sistem manajemen yang tak berpihak pada pekerja, dan ia juga mengkritisi newsroom. Hari Suwandi dan Harto Wiyono adalah dua orang warga korban lumpur Lapindo yang berjalan kaki dari Porong - Sidoarjo ke Jakarta. Menghabiskan waktu hampir satu bulan demi tekad untuk mencari keadilan bagi warga korban Lapindo yang pembayaran ganti ruginya oleh PT Menarak Lapindo Jaya belum lagi terlunasi." behind the frequency
Note by me: Masih jelas diingatan saya, bagaimana dosen di kampus saya terdahulu begitu bangganya bila melihat alumni bekerja di media massa. Seolah ilmu yang mereka berikan tidak hilang percuma. Namun, ketika kita diposisikan sebagai seorang pekerja di sebuah media, akan kan kode etik, idealisme, prinsip keberpihakan kepada publik yang diajarkan dibangku kuliah akan mampu terimplementasikan?
Tanpa menonton dokumenter di atas, saya telah memiliki jawabannya. TIDAK.
Kita bekerja pada sebuah INDUSTRI media.Adakah yang menduduki nomer satu selain mancari keuntungan ketika sebuah industri berjalan? Maka dimanakah idealisme itu ditempatkan ketika kita bekerja pada sebuah industri media?