Apakah Ibu Mengeksploitasi Anak Ketika Bikin Konten?

28.1.20
BLOGGER KOTA SOLO


Beberapa waktu lalu sempat lihat sebuah video seorang anak balita dipaksa ibunya membuat konten. Si anak ogah- ogahan sampai nangis, tapi orang tuanya tetap memaksanya bergaya bak model. Kasihan. 

Tapi para ibu yang juga jadi content creator, apakah betul sering melakukan hal tersebut?

Sejak aktif menjadi kreator konten, saya sering bekerja sama dengan brand dalam aktivitas promosi mereka. Meskipun target marketnya tetap orang tua (sebagai decision maker), tapi kehadiran anak sebagai model, dapat membangun image sekaligus pesan yang kuat bagi produk tersebut. Bukan cuma orang tuanya yang dibikin interest tapi anaknya juga kena awareness

Salah satu bentuk kerja sama yang biasa saya lakukan adalah menjadikan anak sebagai model dalam foto atau video.

Jika sekilas melihat, sepertinya membuat konten bareng anak itu terlihat mudah. Tapi nyatanya, saya harus banyak sabar dalam proses produksinya. Nggak bisa memaksa. Kalau anak nangis, malah berabe jadinya. Konten berantakan, apalagi udah mepet deadline.

Buat saya membuat konten bersama anak tidak semata-mata urusan duit. Pengalaman ini menjadikansebuah proses belajar dan bermain. Jika selama ini anak hanya sebagai konsumen konten di youtube, saya ingin dia merasakan bagaimana proses produksi sebuah konten dibuat. Biar dia mengenal bahwa membuat foto maupun video itu tidak gampang.

Dua tahun lebih sering berkolaborasi dengan anak, khususnya untuk konten bersponsor, akhirnya saya memiliki beberapa term and condition yang harus saya penuhi sebagai content creator sekaligus sebagai ibu. Saya tidak ingin anak merasa dieksploitasi, atas nama mencari uang. Itu kenapa batasan- batasan ini dibuat dengan jelas, agar kegiatan memproduksi konten ini bisa menjadi sarana belajar yang menyenangkan.

1. Menentukan jenis produk yang tepat dan berguna


Saya tidak sembarang dalam menentukan brand yang ingin mengajak kerja sama. Harus  dipastikan produknya sesuai untuk anak saya dan memang betul- betul dia gunakan. Sehingga ketika melakukan review, kami melakukannya secara jujur. Meskipun ada imbalan materi yang diterima.

Oiya, saya juga pernah menulis pertimbangan apa saja yang dilakukan brand ketika mengajak blogger atau content creator untuk bekerja sama. Silakan dibaca di sini

2. Komunikasikan proses kreatif yang akan kami lakukan


Anak saya si Lila kebetulan sudah semakin besar. Dia makin paham ketika diajak berdiskusi. Maka, ketika ada sebuah project datang, saya jelaskan kepada dia apa yang harus kami lakukan.

Apa produknya? Kami harus ngapain aja? Bergaya seperti apa? Pakai baju apa? Dan berapa bayaran yang akan dia terima?

Pola komunikasi ini akan berubah seiring bertambahnya usia Lila. Mungkin suatu saat dia kan mengambil peranan dalam menentukan iya dan tidaknya sebuah kerja sama diterima.

Baca Juga : Ini Ciri Generasi Alpha


3. Lakukan proses produksi dengan efisien


Menjaga mood anak itu gampang- gampang susah. Makanya, proses produksi harus efisien waktu. Pastikan perut anak dalam kondisi kenyang dan dia tidak sedang mengantuk. Pakaikan baju yang sesuai, beri pengarahan dan langsung lakukan pengambilan gampang (foto atau video). Jangan lakukan pengulangan terlalu sering, karena anak bisa capek dan akhirnya kehilangan mood untuk bekerja sama.

4. Adil dalam urusan bayaran


Prinsipnya, saya dan anak adalah partner. Itu artinya, perlu ada apresiasi dari jerih payah yang dia lakukan. Biasanya saya memberikan 15 -20% dari penghasilan bersih untuk masuk ke tabungan anak. Meskipun rekeningnya saya pegang, tapi anak tahu bahwa ia mendapatkan hasil dari apa yang dia usahakan.

Memang tidak mudah untuk bisa sabar dan sekaligus kreatif ketika berkolaborasi bersama anak. Saya selalu butuh bantuan suami jika memang kami berdua harus menjadi modelnya. Tapi dari sini saya juga belajar, bahwa bekerja sama bisa dimulai juga dari rumah. Mendiskusikan konsep, melakukan proses kreatif, evaluasi dan membagi hasil kerja berupa materi secara fair.

***
ZAHRA NOOR ERIZA


Kamis, 23 Januari 2020, saya berksempatan menjadi pembicara pada Seminar Nasional yang diadakan oleh Politeknik Indonusa Surakarta dengan judul "Media dan Eksploitasi Anak di Era Milenial".

Di seminar ini saya bercerita bagaimana proses kolaborasi yang biasa saya lakukan bersama Lila ketika membuat konten foto dan video. Serta menjelaskan berbagai term dan condition yang saya tetapkan agar saya tidak mengekploitasi Lila sebagai anak.

Jika ingin mendownload materinya, silakan klik di sini

ZAHRA NOOR ERIZA

See you on the next blogpost.






Thank you, 


2 comments on "Apakah Ibu Mengeksploitasi Anak Ketika Bikin Konten?"
  1. Bener mbak... hasilnya ketika cair, memang harus dibagi dengan anak. Hihi.. kadang suka khilaf buibu yaa... duitnya masuk kantong emaknya anaknya lupaaa. Hihi..

    ReplyDelete

You made it all the way here! Thanks for reading. :)
(Untuk meninggalkan komentar, sebaiknya jangan memilih Anonymous agar tidak menjadi brokenlink dan saya hapus.
Tulis saja nama dan url Google/facebook biar lebih aman)

Auto Post Signature